Kehadiran
Blackberry semakin hari semakin menjadikan gadget ini menjadi sebuah
kebutuhan bagi kita. Dan di sini saya ingin menyampaikan bahaya
Blackberry ke depan dalam kehidupan kita. Bukan dari sisi kesehatan atau
teknologi atau efek negatif lainnya, namun dari sisi persaingan usaha
yang turut menyertai kehadiran Blackberry (BB).
Saya memakai BB sejak setahun yang
lalu. Cukup terlambat dibandingkan banyak rekan yang sudah memakai lebih
dulu. Dan terus terang saja bahwa ketika saya mulai memakai (baca:
membeli) BB, saya merasa terpaksa. Ada sebuah kondisi di mana saya
sebagai seorang wiraswasta, merasa “harus” mempunyai BB karena banyak
sekali rekan kerja dan sahabat yang seringkali bertanya, “Ada pin BB?”
Dari sisi teknologi sebuah gadget,
bagi saya BB bukanlah yang paling istimewa. Merek lain bahkan bisa
dikatakan ada yang lebih canggih. Namun seperti yang kita tahu,
kehadiran BB dengan Blackberry Messenger (BBM)-nya membuat merek lain
tak bisa bergabung dengan komunitas BB. Padahal dengan metode
pemasarannya yang begitu gencar, kehadiran BB membentuk sebuah kelas
tersendiri bagi para pemilik BB.
Kondisi trend BB dengan BBM-nya ini
bagi saya membahayakan. Semakin hari, orang akan semakin dituntut untuk
punya BB karena dengan tidak punya BB, kita akan merasa terasingkan.
Bukan hanya pebisnis, anak muda bahkan pelajar pun semakin hari semakin
banyak yang sudah punya BB dan semakin hari akan semakin mendorong yang
lain untuk ikut membeli BB.
Di atas sudah saya sebutkan bahwa
banyak sekali rekan kerja dan sahabat yang tanya tentang pin BB. Dan
pertanyaan yang lebih menyakitkan adalah ketika bentuk kalimatnya;
“Belum punya BB ya?” Pertanyaan ini seakan-akan berarti bahwa kita
“belum” punya BB entah karena belum mampu beli atau belum sadar sehingga
yakin suatu saat pasti juga akan punya BB. Kondisi “belum punya BB” ini
secara tidak langsung semacam merendahkan orang yang tidak punya BB.
Setahun yang lalu saya benar-benar
merasa terpaksa saat membeli BB. Saat itu saya sudah kuatir dengan trend
yang semakin hari semakin memaksa orang untuk mempunyai BB. Dan
sekarang ini, kekuatiran saya sudah mulai mencapai ke istri saya. Istri
saya, yang juga punya usaha sendiri di rumah, saat ini sudah
berkesimpulan; “Aku harus punya BB.” Bagi saya ini gawat karena pada
dasarnya kami berdua mempunyai selera yang sama akan sebuah merek gadget
namun pada akhirnya kami “dipaksa” untuk membeli BB!
Secara teknologi sebuah gadget,
terus terang saya tidak begitu suka dengan BB. Saya (dan juga istri)
mempunyai merek favorit yang lain. Hal ini bisa dilihat bahwa saya tetap
memakai gadget merek lain untuk nomor utama seluler saya. BB saya hanya
saya isi nomor kedua karena pada awalnya hanya saya fungsikan sebagai
alat chatting. Meski pada akhirnya saya juga (lagi-lagi) terpaksa
memakai BB untuk kebutuhan browsing dan email untuk tujuan efektivitas
biaya.
Sebenarnya kita punya banyak pilihan untuk bisa chatting. Ada Yahoo! Messenger (YM), Gtalk, Facebook, WhatsApp Messenger atau
banyak pilihan yang lain. Tapi yang jadi masalah kenapa secara trend,
pilihan-pilihan ini semacam terabaikan. Padahal dengan menggunakan
aplikasi YM atau Gtalk, kita bisa mempunyai banyak pilihan merek gadget.
Namun nyatanya dalam keseharian kita, tidak ada yang menanyakan apakah
kita punya id YM atau Gtalk.
Jika trend ini terus ditanamkan
oleh pihak marketing BB dan juga para penggunanya yang secara tidak
sadar “memaksa” orang lain untuk punya BB, maka bukan tidak mungkin
suatu saat, pemilik BB di negara ini akan mencapai jumlah pemakai gadget
secara keseluruhan. Sekarang saja negara kita sudah termasuk dalam
pengguna BB tertinggi. Ke depan angka ini akan terus berkembang pesat.
Saya yakin. Dan kondisi ini juga yang membuat kita kecewa ketika pihak
RIM (produsen BB) tidak mau investasi buka pabrik di Indonesia.
Saya tidak tahu apakah ada pihak
atau instansi yang bisa mencegah trend yang bagi saya kurang adil ini.
Kurang adil bagi merek lain dan juga bagi masyarakat pengguna gadget
sebagai alat komunikasi. Bagi saya yang awam, mungkin akan sangat
melegakan jika suatu saat BBM menjadi sebuah aplikasi terbuka yang bisa
ditanamkan di gadget merek lain. Tapi tentu ini tidak mudah bagi BB
untuk merelakan ladang bisnisnya dibagikan ke merek lain.
Yang paling mungkin bagi kita
hanyalah tidak ikut “memaksa” orang lain untuk ikut-ikutan punya BB.
Salah satu usaha pribadi saya untuk mencegah ini, saya pantang bertanya
pada orang lain tentang BB. Saya pantang bertanya apakah mereka punya BB
atau pertanyaan sejenis. Bagi saya pertanyaan ini membuat orang lain
yang tidak punya BB merasa bahwa mereka perlu punya BB.
Hal lain yang saya lakukan adalah
dengan tidak pernah mencantumkan pin BB saya pada kartu nama saya.
Sebuah usaha yang kecil, namun bagi saya harus dilakukan.
0 komentar:
Posting Komentar